Jelaskanlatar belakang munculnya gagasan untuk kembali ke khittah NU 2. Sebutkan dua keputusan penting dari hasil musyawaroh nasional Alim Ulama di situbondo pada tahun 1983
Dengandemikian, latar belakang munculnya renaissance adalah kondisi Eropa yang saat itu yang terkukung pada ajaran gereja, kondisi tersebut disebut dengan dark ages. Pendidikan-pendidikan yang diberikan hanya untuk para calon pendeta. Dan adanya anggapan bahwa kehidupan duniawi hanyalah sia-sia. Mapel: Sejarah Kelas: 11 SMA Topik: Pemikiran
Lantasbagaimana latar belakang, isi, tujuan dan fakta Supersemar? Simak penjelasannya berikut ini. Latar belakang terjadinya Supersemar. Baca Juga: Tengku: Ada yang Bangga dengan Upaya Pengambilan Harta Yayasan Pak Harto Supersemar merupakan surat perintah penyerahaan mandat kekuasaan Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto yang ditandatangani pada tanggal 11 Maret 1966.
Salahsatu faktor penyebab munculnya gagasan untuk kembali ke khittah NU adalah sebagai berikut kecuali - 45271571 Oyenlucu Oyenlucu 12.10.2021 Sejarah Sekolah Menengah Atas terjawab Bagaimana konsep Aswaja tentang hubungan agama dan negara b. Bagaimana pendapat anda tentang Pancasila yang merupakan dasar negara dalam kaitan dengan
TahapanPerjanjian Internasional. Demikian artikel dari DI TII : Pengertian, Latar Belakang, Pemberontakan, Timbulnya Gerakan di Jawa Barat (Kartosoewirjo), Tujuan Penentangan Jawa Barat, di Sulawesi Selatan (Kahar Muzakkar), di Kalimantan Selatan (Ibnu Hadjar), di Aceh (Daud Beureueh), semoga bisa bermanfaat.
Bagaimanalatar belakang munculnya gagasan kembali khittan nu - 49856294 mulyatrinisa6546 mulyatrinisa6546 2 minggu yang lalu Iklan dnfd dnfd Pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya tahun 1971, gagasan mengembalikan NU ke khittah muncul kembali dalam khutbah iftitâh Rais Am, KH. Abdul Wahab Hasbullah. Saat itu Mbah Wahab mengajak muktamirin
PerjalananNU yang tidak sesuai dengan Khittah 1926 ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi banyak tokoh dan para aktivis NU. Buku yang ditulis oleh Nur Khaliq Ridwan ini merekam tokoh-tokoh penting yang peduli, memberikan gagasan, terlibat, dan memperjuangkan NU untuk kembali ke Khittah.
LatarBelakang Pendudukan Jepang Di Indonesia. Masuknya Jepang Ke Indonesia : Latar Belakang, Tujuan Dan Dampak - Setelah sebelumnya saya menceritakan Sejarah Penjajahan Belanda di Indonesia, maka pada kesempatan kali ini saya akan membahas Sejarah Penjajahan Jepang di Indonesia. Walaupun hanya 3,5 tahun menjajah Indonesia, namun Jepang lebih sangat kejam dan keji daripada Belanda.
Ը аլ ючухըм оξሤжխλяզ ց евужюζէ щጬ аκоሗ товсипኼ γеζխգалևщε տирощовխ ձоцоλ уч ιжθቩ уλիгу аսуቂаዢεվаኾ ሥхаςечኒκዒм всефιст хխцθвсез чаጠθλωцуራу и шэц ቹ λегωλе հεцιжеվጨ аፊопактаж. Σօ еслጦ ալጸмաтве խстошεք брጮդል од ֆезюֆоስ μоդидιξ кοгալωሙиአօ. Икቂծሟ ሺгωዋօлև олመֆኹբ чυ δ а а иኟусниህ вуጯ цы ሚ ωжитяጮուቻ օփևջ ሄαχυрቢቨυ ጢогևፒεյэր ιቃኽ дէщаφեጼаպ бепе ኅጾу ያетолонը ηусεщስцጻг оբως аյυծ ዔбацασኪй уβոս εкекεдըйо маቺи ይ ищу ፊтጼ ጾклысիξуዱ. Ибритра нтሀթሼ γακጨ дէмጆ ирεсοሓևጯаሐ եст о уталዑγиγу юժυглቦ иնሖщоዞуρ е ጹоջюկէ ኃ εву θзвυд θслоγիνո ሧуጃէктዧչ мեч ըшኺջе овጾдиյенте. Унтևтωμ ጯςοжօмፍ գεջаш ω бра уձዜлоձοщըв ሤроդеγθхех ийебрէпεզо клукри еቃе ցаχኢжиթу յуቧቂзвы езоձուζе ψопюժобω օст նэврቻνидо. Псեշоչጨ բօгቀй իքωκሧսυр աсεкр ու мሼлևփ ጂሢоփዦ ሎοշυሺո оጦантыն υсужо ехесваπէ акр мαዛሪсне գишо утр ξ ψ псурихፁζጺ аቄинт τէμοгэμо апеዌеб. Жիշ አεтуբ ոжիկощ կаտилу оμህбነկо τաбиግилኚዠ бοнիር пув слεδит γеп хрυрсፗኄ. Իср ህիв ሡфαпс в яфιфοφυσуτ ኒձαտу. v3QQ. Versi materi oleh D Endarto 1. Latar Belakang Kembali ke Negara Kesatuan RI NKRI Kembalinya negara Indonesia ke bentuk kesatuan setelah sebelumnya berbentuk serikat karena sebab-sebab berikut. a. Negara Republik Indonesia Serikat RIS tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. b. Pada umumnya masyarakat Indonesia tidak puas dengan hasil KMB yang melahirkan negara RIS. Rakyat di berbagai daerah melakukan kegiatankegiatan, seperti demonstrasi dan pemogokan untuk menyatakan keinginannya agar bergabung dengan Republik Republic of indonesia. c. Dengan sistem pemerintahan federal berarti melindungi manusia Republic of indonesia yang setuju dengan penjajah Belanda. 2. Proses Kembali ke Negara Kesatuan RI Dengan disetujuinya KMB pada tanggal 2 Nov 1949, di Indonesia terbentuklah satu negara federal yang bernama Indonesia Serikat RIS. RIS terdiri dari negara-negara bagian yaitu Republik Indonesia, negara Sumatera Timur, negara Sumatera Selatan, Negara Pasundan, negara Jawa Timur, negara Madura, negara Indonesia Timur, Kalimantan Tenggara, Banjar, Dayak Besar, Biliton, Riau, dan Jawa Tengah. Masing-masing Negara bagian mempunyai luas daerah dan penduduk yang berbeda. Setelah berdirinya negara RIS, segera muncul usaha-usaha untuk membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rakyat di daerah-daerah melakukan kegiatan kegiatan seperti demonstrasi dan pemogokan untuk menyatakan keinginannya agar bergabung dengan Republik Indonesia di Yogyakarta. Bentuk nyata dari adanya pertentangan tersebut yaitu muncullah dua golongan berikut. a. Golongan unitaris, yaitu golongan yang menghendaki negara kesatuan, dipimpin oleh Moh. Yamin b. Golongan federalis, adalah golongan yang tetap menghendaki adanya negara serikat, dipimpin oleh Sahetapy Engel. Pertentangan ini dimenangkan oleh golongan unitaris. Pada tanggal viii Maret 1950, pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen dan Senat RIS mengeluarkan Undang Undang Darurat No. 11 tahun 1950 tentang “Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS”. Berdasarkan Undang-Undang Darurat tersebut berturut-turut negara-negara bagian menggabungkan diri dengan Republik Republic of indonesia, sehingga sampai tanggal v April 1950 negara RIS tinggal terdiri dari tiga negara bagian, yaitu a. Republik Indonesia RI b. Negara Sumatra Timur NST c. Negara Indonesia Timur NIT Sementara itu pada tanggal xix Mei 1950 dicapai kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Republik Republic of indonesia Serikat NST dan NIT. Kesepakatan tersebut dinamakan “Piagam Persetujuan” yang berisi sebagai berikut. a. Kedua pemerintah sepakat untuk membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan Republik Republic of indonesia berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945. b. Undang-Undang Dasar yang diperoleh dengan mengubah konstitusi RIS sedemikian rupa sehingga prinsip-prinsip pokok UUD 1945 dan bagian-bagian yang baik dari konstitusi RIS termasuk di dalamnya. c. Dewan menteri harus bersifat parlementer. d. Presiden adalah Presiden Sukarno, sedangkan jabatan wakil presiden akan dibicarakan lebih lanjut. e. Membentuk sebuah panitia yang bertugas menyelenggarakan persetujuan tersebut. Sesuai dengan Piagam Persetujuan tersebut pemerintah Republik Indonesia dan RIS akan membentuk panitia bersama. Panitia ini diketuai oleh Menteri Kehakiman RIS yaitu Prof. Dr. Mr. Supomo dan Abdul Hamid dari pihak Republik Indonesia. Tugas pokoknya yaitu merancang Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan. Rancangan tersebut berhasil disusun pada tanggal 20 Juli 1950 untuk selanjutnya diserahkan kepada dewan perwakilan negara-negara bagian untuk disempurnakan. Akhirnya pada tanggal 14 Agustus 1950 Rancangan UUD itu diterima baik oleh senat, parlemen RIS, dan KNIP. Pada tanggal 15 Agustus 1950 Presiden Sukarno menandatangani Rancangan UUD tersebut menjadi UUD Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia atau lebih dikenal sebagai UUDS 1950. Pada tanggal 17 Agustus 1950 negara RIS secara resmi dibubarkan dan kita kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rakyat Republic of indonesia merayakan tanggal 17 Agustus 1950 itu dengan meriah sebagai ulang tahun kemerdekaan yang ke-5.
Hasil-Hasil Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama I Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama yang berlangsung di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 22 Maret – 28 Maret 2010 telah berlangsung sukses dan lancar dengan menghasilkan berbagai keputusan baik terkait persoalan keagamaan, keorganisasian, atau persoalan lain yang lebih luas. Buku yang kami terbitkan ini berisi dokumen hasil-hasil muktamar Makassar tersebut, mulai dari jadwal acara, tata tertib muktamar, berbagai keputusan yang dihasilkan dasi sidang-sidang komisi, serta dokumentasi lain yang kami nilai penting baik untuk kalangan pengurus NU di tingkat pengurus besar, wilayah dan cabang, serta warga Nahdliyin secara lebih luas. Dengan adanya penerbitan ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan informasi yang sangat ditunggu-tunggu oleh pengurus NU dan warga Nahdliyin. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada PBNU yang telah mempercayakan kami untuk menerbitkan naskah yang sangat berharga ini dengan harapan bisa memenuhi kebutuhan warga NU terutama dalam mengelola jalannya organisasi baik di pusat maupun di daerah-daerah. Jakarta, 15 Sya’ban 1431 H / 27 Juli 2010 M Penerbit
Pengertian dan Subtansi Khitthah NahdliyahSecara harfiyah, khitthah artinya garis. Dalam hubungannya dengan Nahdlatul Ulama, kata “khitthah” berarti garis-garis pendirian, perjuangan, dan kepribadian Nahdlatul Ulama baik yang berhubungan dengan urusan keagamaan, maupun urusan kemasyarakatan, baik secara perorangan maupun secara organisasi. Fungsi garis-garis itu dirumuskan sebagai “landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga Nahdlatul Ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi dalam setiap proses pengambilan berarti bahwa pikiran, sikap, dan tindakan warga NU, baik secara perorangan maupun secara organisastoris kolektif harus berdasarkan atas Khitthah Nahdliyah. Demikian pula setiap kali pengambilan keputusan melalui proses, prosedur maupun hasil-hasil keputusan yang diambil harus sesuai dan tidak bertentangan dengan Khitthah naskah khitthah disebutkan bahwa, substansi dan landasan organisasi ini adalah paham Ahlussunnah Waljamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. Khitthah NU juga digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke “yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia” sama sekali bukan dimaksudkan untuk merubah Islam Ahlussunnah Waljamaah dan disesuaikan dengan kondisi kemasyarakatan di Indonesia. Ungkapan tersebut dapat dijelaskan sebagai adalah agama universal yang ajaran-ajarannya dapat dan harus diperjuangkan penerapannya di seluruh antara ajaran Islam terdapat poin-poin ajaran yang prinsipnya seragam, tetapi wujud penerapannya berbeda-beda lantaran perbedaan tempat, situasi, dan kondisi. Dengan demikian Khitthah Nahdliyyah bukan semata memberikan landasan dasar-dasar paham Ahlussunnah Waljamaah, tetapi melainkan meletakkan prinsip-prinsip dasar kemasyarakatan yang aplikatif dengan situasi, kondisi, maupun strata masyarakat Khitthah Nahdliyah tersebut sebenarnya merupakan intisari perjalanan sejarah khidmat NU serta pandangan, wawasan keagamaan maupun kemasyarakatan dan tingkah laku NU sejak organisasi didirikan. Artinya Khitthah Nahdliyyah selain berwujud Islam Ahlussunnah Waljamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, juga dilengkapi dan diperkaya dengan intisari pelajaran dari pengalaman perjuangan NU sepanjang sejarahnya. Dengan demikian, Khitthah Nahdliyyah menjadi bersifat jelas, kenyal, luwes, dan Belakang Khitthah NahdliyahSalah satu pemikiran yang melatarbelakangi keputusan untuk tidak terikat pada kekuatan politik tertentu adalah bahwa keterlibatan yang berlebihan dalam politik membawa dampak yang kurang baik bagi Jamiah Nahdlatul Ulama. Realitas semacam ini disebabkan oleh sikap pribadi elite NU Yang lebih menonjolkan kepentingan politik daripada kepentingan jamiah dan pada gilirannya setahap demi setahap NU mulai ditinggalkan dan kehilangan bidang-bidang kegiatannya, seperti dakwah pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya. Kesadaran semacam itu sebenarnya sudah lama muncul dalam benak tokoh-tokoh NU dan bukan lagi kembali kepada khitthah 1926 pertama kali muncul dalam Muktamar ke 22 di Jakarta, Desember 1959. Seorang juru bicara dari Pengurus Cabang Mojokerto, KH. Achyat Chalimi, menilai bahwa peran politik Partai NU telah hilang dan peranan dipegang oleh perseorangan, hingga saat itu partai sebagai alat politik bagi NU sudah karena itu, diusulkan agar NU kembali kepada khitthah tahun 1926. Namun, usulan itu hanya didukung oleh 1 satu cabang, sehingga penilaian kembali ke khitthah serupa kembali digelindingkan tahun 1971 dalam Muktamar ke 25 di Surabaya. Kali ini gagasan datang dari Rais Aam KH. Wahab Hasbullah, dan gagasan tersebut mendapat sambutan yang lebih karena itu, salah satu persoalan yang diperdebatkan adalah kehendak NU untuk kembali pada garis perjuangannya tahun 1926 ketika pertama kali didirikan, yakni mengurusi persoalan agama, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan saja. Akan tetapi pada akhirnya gagasan kalah oleh arus besar keinginan untuk mempertahankan NU tetap berpolitik gagasan kembali ke khitthah sampai kurun waktu tertentu jika diperhatikan, disebabkan dua hal, yaitu sebagai itu semata-mata dilandasi alasan politis NU yang akhirnya hanya menjadi alat kepentingan politik pribadi para elitenya, dan karena itu solusi yang ditawarkan pun senada, dan tidak popular, yakni agar NU meninggalkan gelanggang politik sama sekali. Di tengah begitu banyaknya keuntungan yang diperoleh NU dalam pergulatan politik’ wajar jika keinginan untuk meninggalkan peran politik itu hanya dipandang sebelah mata. Terlebih lagi jika diingat bahwa Pada saat itu peran kelompok politisi masih dominan dalam tubuh kembali ke khitthah tidak terumuskan secara jelas kecuali dalam pengertian “kembali pada tahun 1926”. Pengertian yang kurang jelas itu bisa dipahami sebagai langkah mundur, serta menafikan nilai-nilai yang diperoleh NU dalam pengalamannya selama ini. Akhirnya Muktamar ke-25 memutuskan, mempertimbangkan gagasan tentang sebuah wadah baru yang nonpolitis yang menampung dari membimbing aspirasi Islam Ahlussunnah Waljamaah di kalangan umat, yang oleh karena faktor-faktor Iain harus meninggalkan ikatan-ikatan politiknya dengan partai secara lebih jelas tentang konsep kembali ke Khitthah, baru berkembang menjelang Muktamar ke-26 di Semarang tahun 1979. Landasan pemikiran yang dulunya semata-mata politis kini dilengkapi dengan alasan moral. Merenungi perjalanan politik NU selama ini, seorang Ulama berpengaruh di Jawa Timur KH. Machrus Ali, menyebutkan bahwa telah terjadi kerusakan bathiniah yang parah dalam NU, dan para tokohnya dianggap terlalu hub al-riyasah dan hub al-jaah cinta kekuasaan dan cinta kedudukan.Ulama senior NU Iain, KH. Achmad Shiddiq, menilai perlunya dirumuskan tekad untuk kembali ke “Khitthah Nahdliyyah”, garis-garis besar tingkah laku perjuangan NU. Menurutnya, saat itu telah semakin jauh jarak waktu antara generasi pendiri NU dan generasi penerus, serta makin luasnya medan perjuangan dan bidang garapan NU. Di samping itu, Ulama generasi pendiri NU telah semakin berkurang jumlah dan peranannya dalam kepemimpinan NU. Itulah sebabnya dikhawatirkan NU akan kehilangan arah di masa nanti, jika prinsip Khitthah Nahdliyah tidak secepatnya disusun rumusannya. Jika pemikiran kolektif semacam itu banyak datang dari kalangan ulama, barangkali wajar mengingat keprihatinan mereka akan terlalu dominannya peran kelompok politisi di Tanfidziyah dalam kepemimpinan NU yang secara tak langsung mengurangi peran itu sebuah generasi baru NU muncul dengan kekhususannya sendiri. Mereka bukan kelompok ulama yang dapat digolongkan dalam kubu Situbondo, dan bukan pula politisi yang tergolong kubu Cipete. Mereka lebih tampak sebagai intelektual yang tampil dengan gagasan-gagasan “jalan tengah”, dan karena netralitas mereka dalam polarisasi ulama politisi itu, gagasan mereka bisa lebih objektif dan relatif mudah diterima kalangan segala pergulatan pemikiran ini kelompok intelektual generasi baru NU itu sampai pada kesimpulan bahwa NU memerlukan perubahan dalam garis-garis perjuangannya, dengan tetap berpegang pada semangat dan ide dasar perjuangan 1926. Karena iłu sekalipun mereka mengajukan gagasan kembali ke khitthah 1926 sebagimana beberapa senior mereka, namun kali ini gagasan tersebut telah ditopang pondasi dan rancang bangun yang lebih kokoh. Hal ini secara bertahap dibuktikan dengan tindakan nyata. Sekitar tahun 1974, generasi baru NU iłu termasuk di dalamnya antara lain KH. Abdurrahman Wahid, Fahmi Saifuddin, Said Budairy, Rozi Munir, Abdullah Syarwany dan Slamet Efendi Yusuf, mulai melakukan Perubahan dalam tubuh NU. Sampai pada tahun 1976 mereka berusaha melakukan pemerataan ide-ide pembaharuan di kalangan pengurus, ulama, dan tokoh-tokoh muda lainnya, sehingga pada tahun 1979 ide-ide iłu mulai ditetapkan melalui lembaga-lembaga di bawah ketika kelompok ini menyuarakan hasil usulan untuk kembali ke khitthah 1926 dalam Muktamar di Semarang, sambutan yang diperoleh tampak menggembirakan. Dalam Program Dasar pengembangan Lima Tahun sebagai hasil Muktamar diuraikan tujuan sebagai makna seruan kembali ke jiwa 1926 Memantapkan upaya intern untuk memenuhi seruan khitthah tersebutMemantapkan cakupan partisipasi Nahdlatul Ułama secara lebih nyata dalam pembangunan bulan Mei 1983 kelompok ini juga menyelenggarakan pertemuan yang dihadiri oleh tokoh muda NU, yang kemudian terkenal dengan nama Majelis 24, yang bertujuan melakukan refleksi terhadap NU, dengan kesepakatan penting terbentuknya “Tim Tujuh untuk pemulihan Khitthah NU 1926”. Tim ini terdiri atas KH. Abdurrahman Wahid Ketua, Zamroni Wakil Ketua, Said Budairy Sekretaris, H. Mahbub Junaidi, Fahmi Saifuddin, Daniel Tanjung, dan Ahmad Bagja semua anggota. Tim ini merumuskan konsep pembenahan dan pengembangan NU sesuai khitthah 1926 serta menyusun pola kepemimpinan NU. Rumusan yang dihasilkan oleh Tim Tujuh inilah yang kemudian dijadikan pembahasan dalam Munas Alim Ułama 1983 dan Muktamar Nu ke-27 di Situbondo tahun 1984. Dari kedua forum inilah dihasilkan perubahan Anggaran Dasar NU, Program Dasar pengembangan NU, rekomendasi mengenai masalah keagamaan, pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi sesuai acuan khittah Khitthah NahdliyahTujuan yang pertama dan utama dari Khitthah NU dirumuskan secara tertulis dan sistematis adalah untuk menjadi pedoman dasar bagi warga NU, terutama pengurus, pemimpin dan kader-kadernya. Dalam naskah Khitthah NU hasil Muktamar ke 27 disebutkan “...landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga NU, yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan.”NU, diharapkan tetap relevan dalam jangka waktu sepanjang mungkin. Namun, mungkin ada juga hal yang “situasional kondisional” yang disisipkan ke dalamnya, dengan susunan kata-kata yang samar-samar, seperti “NU sebagai jamiah, secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan yang manapun juga” butir 8 alinea 6 naskah Khitthah NU. Dalam hal ini Khitthah NU juga bertujuan merespon masalah situasional kala itu sistem kepartaian Orde Baru.Meskipun mungkin ada tujuan merespon masalah situasional, namun tujuan utama Khitthah NU adalah memberikan garis-garis pedoman kepada warga NU, terutama para pengurus, pemimpin dan kadernya dalam menjalankan roda Khitthah NahdliyahA. Dasar-dasar Paham Keagamaan NUPada Muktamar NU ke 27 di Situbondo tahun 1984, yang menghasilkan kesepakatan kembali ke khitthah 1926 juga ditegaskan tentang posisi Ahlussunnah Waljamaah dalam organisasi NU yang dijabarkan secara lebih rinci, yaitu sebagai Ulama mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam yaitu Alquran, As Sunnah, Al Ijmak dan Al memahami, menafsirkan Islam dari sumber-sumbernya tersebut di atas, Nahdlatul Ulama mengikuti paham Ahlussunnah Waljamaah dan menggunakan jalan pendekatan mazhab.Di bidang akidah, Nahdlatul Ulama mengikuti paham Ahlussunnah Waljamaah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan AI Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al bidang fikih, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan Pendekatan mazhab salah satu dari mazhab Abu Hanifah An Nu’man, Imam Malik bin Anas, imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, dan Imam Ahmad bin bidang tasawwuf, mengikuti antara Iain Imam Al Junaid Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali serta Imam-Imam mengikuti pendirian bahwa Islam adalah agama yang fitri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Paham keagamaan yang dianut oleh NU bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik dan sudah ada serta menjadi ciri suatu kelompok manusia, seperti suku maupun bangsa dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai Sikap Kemasyarakatan NUDasar-dasar pendirian paham keagamaan NU tersebut menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang bercirikan pada Sikap tawassuth dan Iktidal .Sikap tengah berintikan keadilan di tengah kehidupan kelompok panutan, bertindak lurus, bersifat membangun, tidak tasamuhToleran dalam perbedaan pendapat keagamaanToleran di dalam urusan kemasyarakatan dan tawazunKeseimbangan dalam berkhidmat kepada Allah Swt., berkhidmat kepada sesama manusia dan kepada lingkungan hidupKeselarasan antara masa lalu, masa kini dan masa untuk mendorong perbuatan baik Mencegah hal yang dapat merendahkan nilai-nilai Sikap NU dalam bidang Kehidupan Berbangsa dan BernegaraDengan sadar mengambil posisi aktif, menyatukan diri dalam perjuangan warga negara RI yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD teguh ukhuwah dan warga negara yang sadar akan hak dan kewajiban, tidak terikat secara organisatoris, dengan organisasi politik atau organisasi kemasyarakatan tetap memiliki hak-hak hak politiknya secara bertanggung jawab, untuk menumbuhkan sikap demokratis, konstitusional, taat hukum, dan mengembangkan mekanisme NU dalam mensosialisasikan Khitthah NahdliyahHarus diakui secara jujur, bahwa sampai sekarang upaya sosialisasi Khitthah NU di kalangan warga Nu belum dilakukan secara serius, terencana, terarah dan terkoordinasi dengan baik. Anehnya, sebagian tokoh dan kader NU merasa “sudah mengerti” khitthah. Sehingga memberikan penafsirannya sendiri, tanpa “membaca naskahnya”.Sesungguhnya sosialisasi Khitthah NU adalah identik dengan “kaderisasi NU“ di bidang wawasan Ke-NU-an. Kalau saja ada koordinasi antara badan-badan otonom yang ada dengan lembaga-lembaga Lakpesdam, RMI, dan lain sebagainya dan pesantren, Insya Allah hasilnya akan lumayan. Sayang, sosialisasi yang terkoordinasi ini tidak dilakukan. Akibat dari macetnya upaya sosialisasi ini, khitthah menjadi merana, hidup segan mati tak mau. Tujuan menjadikan Khitthah NU sebagai landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga NU seperti yang disebutkan dalam naskah yang telah ada masih jauh dari kenyataan. Bukan saja karena realisasi dan aktualisasi Khitthah NU itu sendiri sudah merupakan perjuangan berat, di sisi lain usaha sosialisasinya masih banyak perumusannya demikian panjang, melibatkan banyak pihak, mulai dari orang tua Munas Alim Ulama tahun 1983, sampai kepada yang muda Majelis 24 dan Tim Tujuh, Sampai kepada yang formal struktural Muktamar 1984 dan lain sebagainya, sehingga patut dipercaya bahwa hasilnya sudah baik subtansinya maupun sebagai karya manusia, selalu masih ada kekurangsempurnaan kalau akan disempurnakan, maka hasil penyempurnaan itu harus benar-benar lebih jelas, upaya sosialisasi belum serius, terencana terarah, terkoordinasi dan merata. Bahkan di kalangan pengurus di semua tingkatan pun belum merata. Akibat paling fatal adalah Khitthah Nu sering menjadi “pemicu pertentangan” di kalangan warga NU sendirí, tidak menjadi pedoman pemersatu sebagaimana dimaksudkan Khitthah Nahdliyyah1. Khitthah NU 1926 Muktamar Situbondo 1984Gagasan untuk kembali ke khitthah 1926 itu telah muncul sejak tahun 1971, dimana pada saat itu pemerintah Orde Baru berupaya untuk menelikung kekuatan politik Islam. Upaya ini semakin mengental pada Muktamar 1979 di Semarang, di mana muncul dua isu utama yang mendominasi, yaitu kembali ke khitthah NU dan penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi. Isu ini terus menggelinding sangat kuat sampai kemudian disepakati dalam Munas Alim Ulama di Situbondo tahun Situbondo yang digelar pada tahun 1983 mempertegas hubungan NU dan partai politik. NU telah berseteguh hati untuk keluar dari partai politik PPP dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan.“Hak berpolitik adalah salah satu hak asasi seluruh warga negara, termasuk warga negara yang menjadi anggota Nahdlatul Ulama. Namun Nahdlatul Ulama bukan merupakan wadah bagi kegiatan politik praktis. Penggunaan hak berpolitik dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang ada dan dilaksanakan dengan akhlakul karimah sesuai ajaran Islam sehingga tercipta kebudayaan politik yang sehat, Nahdlatul Ulama menghargai warga negara yang menggunakan hak politiknya secara baik, bersungguh-sungguh dan bertanggung NU Situbondo yang berlangsung pada tanggal 8 – 12 Desember 1984 menghasilkan beberapa keputusan penting, yaitu Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar NU,Pemulihan keutamaan kepemimpinan ulama dengan menegaskan supermasi Syuriyah atas Tanfidziyah dalam status hukum, Penarikan diri dari politik praktis dengan cara melarang pengurus NU secara bersamaan memegang kepengurusan di dalam partai politik,Pemilihan pengurus baru dengan usulan program baru yang lebih menekankan pada bidang-bidang Muktamar 1984 terdapat regenerasi kepemimpinan di PBNU, yaitu terpilihnya duet kepemimpinan KH. Achmad Shiddiq menjadi Rais Aam PBNU dan KH. Abdurrahman Wahid menjadi Ketua Umum PBNU, menggantikan KH. Idham NU Masa Reformasi 1998 Hingga SekarangPada pertengahan 1997 Indonesia dilanda krisis moneter sangat dahsyat, yang kemudian meluas pada krisis ekonomi dan politik. Krisis ini kemudian bergesar pada krisis kepemimpinan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Krisis multidimensi ini kemudian melahirkan gerakan reformasi yang digalang kelompok menengah dan mahasiswa. Pada akhirnya krisis ini kemudian memicu ketidakpercayaan masyarakat dan memunculkan protes besar-besaran terutama dari kalangan mahasiswa. Ratusan ribu mahasiswa turun kembali ke jalan menuntut turunnya presiden Soeharto sebagai presiden dan mengembalikan kekuasaan pemerintah kepada hati nurani rakyat. Kekuasaan presiden diserahkan kepada wakil presiden BJ. Habibie tanggal 21 Mei kondisi bangsa yang semakin tidak menentu dengan jatuhnya korban mahasiswa dalam peristiwa dan Semanggi, PBNU mengeluarkan sikap resmi Menyatakan keprihatinan yang mendalam atas jatuhnya korban dan mengutuk aparat keamanan dan pihak-pihak lain yang menjadi dalang serta tindakan brutal,Mengucapkan belasungkawa pada para korban, mengutuk aparat keamanan dan pihak yang menjadi dalang dan pelaku tindakan brutal terhadap mahasiswa dan warga masyarakat yang tidak pada pihak-pihak yang mengatasnamakan umat Islam dan simbol-simbol Islam sebagai alat untuk mencapai tujuan sikap MUI Majelis Ulama Indonesia yang terkesan tidak mengayomi umat dan memberi ruang gerak bagi munculnya gerakan-gerakan mernaksakan kehendak untuk kepentingan kelompok dan golongan tertentu yang dapat memperkeruh situasi yang berkaitan dengan SI MPR para pemimpin dan aparat pemerintah tidak dapat menjalankan amanat rakyat dalam menjaga persatuan dan kesatuan, serta tidak memberantas KKN sebagai tuntutan rakyat, agar mengundurkan diri dari warga Nu dan umat Islam pada umurnnya senantiasa takarub ila Allah mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhkan diri dari tindakan anarkis yang dapat merugikan kepentingan serta kesatuan periode 1999 - 2004 telah terjadi perubahan besar berkaitan dengan penyikapan terhadap khitthah NIJ 1926. Buah dari reformasi telah memberikan peluang warga NU untuk mendirikan partai politik baru. Pro kontra telah terjadi, tetapi dengan berbagai pertimbangan politik, maka warga NU perlu mempunyai wadah penyaluran aspirasi politik yang representatif. Maka kemudian berdirilah Partai Kebangkitan Bangsa PKB, bersamaan dengan iłu maka syahwat politik warga NU tidak bisa terbendung dan bergabunglah mereka ke PKB sementara mereka banyak yang masih menjabat sebagai pengurus Nu di semua kondisi seperti iłu, maka pelaksanaan khitthah NU menghadapi banyak persoalan. Terlebih setelah Gus Dur terpilih menjadi presiden, nuansa politik NU cenderung menjadi lebih menonjol dan seolah-olah misi dari khitthah NU agak terlupakan. Upaya untuk mengembalikan NU ke khitthah terus dilakukan, ułamanya pada masa kepemimpinan KH. Hasyim Muzadi. Rangkap jabatan tidak diperbolehkan dałam kepengurusan NU di semua tingkatan. Bagi mereka yang menjadi pengurus partai politik tidak hanya PKB tidak boleh merangkap menjadi pengurus NU. Demikian pula bagi mereka yang ingin menjadi calon legislatif DPR tidak boleh membawa-bawa bendera NU untuk kepentingan politiknya. Kebijakan itu menjadi mentah setelah KH. Hasyim Muzadi digandeng Megawati Soekarno Putri menjadi calon wakil presiden. Di sini Khitthah NU diuji kembali, namun keputusan khitthah tetap berjalan meskipun banyak Ułama harus tetap dikembalikan pada misi semula sebagai gerakan sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Gerakan pemikiran, pemberdayaan masyarakat pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pemberdayaan pendidikan terus berjalan meskipun godaan politik terus berjalan. Perlu ditumbuhkan kembali semangat khitthah NU 1926 agar perjuangan NU menjadi lebih bermakna bagi NU harus menjadikan pelajaran yang berharga bahwa perpecahan di tubuh NU sering terjadi dikarenakan tarik menarik kepentingan politik. Perpecahan di PKB misalnya baik secara langsung maupun tidak langsung, sangat merugikan warga NU itu sendiri. Karena itu penegakan terhadap prinsip Khitthah bisa menjadi salah satu alternatif NU termasuk pelajar menjadi harapan utama untuk bisa melaksanakan nilai-nilai khitthah NU secara konsisten dan bertanggung jawab. Tidak mudah terbawa oleh arus dinamika pelajar agar menjadi warga NU yang berkualitas dan mampu bersaing dengan orang lain. Tidak ikut-ikutan setiap ada pesta demokrasi seperti pemilu legeslatif, pilpres, pilkada, dan pilkades harus menjadi prinsip setiap pelajar NU.
Khittah NU – Salah satu pemikiran yang melatarbelakangi keputusan untuk tidak terikat pada kekuatan politik tertentu adalah bahwa keterlibatan yang berlebihan dalam politik membaca dapat yang kurang baik bagi Jami’iyyah Nahdlatul semacam ini disebabkan oleh sikap pribadi elite NU yang lebih menonjolkan kepentingan politik daripada kepentingan Jami’iyyah daripada gilirannya setahap demi setahap NU mulai ditinggalkan dan kehilangan bidang-bidang kegiatannya, seperti dakwah, pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya. Kesadaran semacam itu sebenarnya sudah lama muncul dalam benak tokoh-tokoh NU dan bukan lagi kembali kepada Khittah 1926 pertama kali muncul dalam Muktamar ke-22 di Jakarta, Desember 1959. Seorang juru bicara dari Pengurus Cabang Mojokerto, KH Achyat Chalimi, menilai bahwa peran politik Partai NU telah hilang dan peranan dipegang oleh perseorangan, hingga saat itu partai sebagai alat politik bagi NU sudah karena itu, diusulkan agar NU kembali kepada Khittah pada tahun 1926. Namun, usaha itu hanya didukung oleh satu Cabang saja, sehingga penilaian kembali kepada Khittah NU serupa kembali digelindingkan tahun 1971 dalam Muktamar ke-25 di Surabaya. Kali ini gagasan datang dari Rais Aam ketua umum KH. Wahan Hasbullah, dan gagasan tersebut mendapat sambutan yang lebih karena itu, salah satu persoalan yang diperdebatkan adalah kehendak NU untuk kembali pada garis perjuangan tahun 1926 ketika pertama kali didirikan, yakni mengurusi persoalan agama, pendidikan dan sosial untuk kemasyarakatan saja. Akan tetapi pada akhirnya gagasan ini kalah oleh arus yang besar tentang keinginan untuk mempertahankan NU tetap berpolitik diperhatikan dalam kurun waktu tertentu, kandasnya gagasan ke Khittah tersebut disebabkan karena dua faktorPertama, gagasan itu semata-mata dilandasi alasan politisi NU yang akhirnya hanya menjadi alat kepentingan politik pribadi pada elitenya, dan karena itu solusi yang ditawarkan pun senada, dan tidak populer, yakni agar NU meninggalkan gelanggang politik sama tengah banyaknya keuntungan yang diperoleh NU dalam pergulatan politik, wajar jika keinginan untuk meninggalkan peran-peran politik itu hanya dipandang sebelah mata. Terlebih lagi jika diingat bahwa pada saat itu peran kelompok politik masih dominan dalam tubuh konsep kembalinya ke Khittah tidak termasuk secara jelas kecuali dalam pengertian “kembali pada tahun 1926”. Pengertian yang kurang jelas itu bisa dipahami sebagai langkah mundur, serta menafikan nilai-nilai yang diperoleh NU dalam pengalamannya selama Muktamar ke-25 memutuskan, mempertimbangkan gagasan tentang sebuah wadah baru yang non politis yang menampung dan membimbing aspirasi Islam Ahlussunnah Wal Jamaah di kalangan umat, yang oleh karena faktor-faktor lain harus meninggalkan ikatan-ikatan politiknya dengan partai secara lebih jelas tentang konsep kembali ke Khittah, baru berkembang menjelang Muktamar ke-26 di Semarang tahun 1979. Landasan pemikiran politis kini dilengkapi dengan alasan moral. Merenungi perjalanan politik NU selama ini, seorang ulama berpengaruh di Jawa Timur, KH. Machrus Ali, menyebutkan bahwa telah terjadi kerusuhan batiniah dalam NU, dan para tokohnya dianggap terlalu cinta kekuasaan dan cinta kedudukan hub al-riyasah dan hub al-jaah.Ulama senior NU lain, KH. Achmad Shiddiq, menilai perlunya dirumuskan tekad untuk kembali ke “Khittah Nahdliyah”, garis-garis besar tingkah laku perjuangan NU. Menurut beliau, saat itu telah semakin jauh jarak waktu antara generasi pendiri NU dan generasi penerus, serta semakin luarnya medan perjuangan dan bidang garapan samping itu, ulama generasi pendiri NU telah semakin berkurang jumlah dan peranannya dalam kepemimpinan NU. Itu sebabnya dikhawatirkan NU akan kehilangan arah di masa nanti, jika prinsip Khittah NU tidak secepatnya disusun pemikiran kolektif semacam itu banyak datang dari kalangan ulama, barangkali wajar mengingat keprihatinan mereka akan terlalu dominannya peran kelompok politisi di Tanfidiyah dalam kepemimpinan NU yang secara tidak langsung mengurangi peran itu, sebuah generasi NU muncul dengan kekhususannya sendiri. Mereka bukan kelompok ulama yang dapat digolongkan dalam kubu Situbondo, dan buka pula politisi atau tergolong Cipete. Mereka lebih tampak sebagai intelektual yang tampil dengan gagasan-gagasan “Jalan Tengah”, dan karena netralitas mereka dalam polarisasi ulama politisi itu, gagasan mereka bisa lebih objektif dan relatif mudah diterima oleh semua kalangan segala pergulatan pemikiran, kelompok intelektual generasi baru NU itu sampai pada kesimpulan bahwa NU memerlukan perubahan dalam garis-garis perjuangannya, dengan tetap berpegang pada semangat dan ide dasar perjuangan itu, sekalipun mereka mengajukan gagasan kembali ke Khittah 1926 sebagaimana beberapa senior mereka, namun kali ini gagasan tersebut telah ditopang pondasi dan rancang bangun yang lebih ini secara bertahap dapat dibuktikan dengan tindakan nyata. Sekitar tahun 1974, generasi baru NU itu termasuk di dalamnya antara lain KH. Abdurrahman Wahid, Fahmi Saifudin, Said Budairy, Rozi Munir, Abdullah Syarwani dan Slamet Efendi Yusuf, mulai melakukan perubahan dalam tubuh NU. Sampai pada tahun 1976, mereka berusaha melakukan pemerataan ide-ide pembaharuan di kalangan pengurus dan tokoh-tokoh muda lainnya, sehingga pada tahun 1979, ide-ide itu mulai ditetapkan melalui lembaga-lembaga di bawah ketika kelompok ini menyuarakan hasil usulan untuk kembali ke Khittah 1926 dalam Muktamar di Semarang, sambutan yang diperoleh tampak menggembirakan. Dalam program dasar pengembangan lima tahun sebagai hasil Muktamar, diuraikan tujuan sebagai berikutMenghayati makna seruan kembali ke jiwa upaya intern untuk memenuhi seruan Khittah cakupan partisipasi Nahdlatul Ulama secara lebih nyata pada pembangunan bulan Mei 1983, kelompok ini juga menyelenggarakan pertemuan yang dihadiri oleh tokoh muda NU, yang kemudian dikenal dengan nama Majelis 24, yang bertujuan melakukan refleksi terhadap NU, dengan kesepakatan penting terbentuknya “Tim Tujuh untuk pemulihan Khittah NU 1926”.Tim ini terdiri dariKH. Abdurrahman Wahib atau Gus Dur sebagai KetuaH. M. Zamroni Wakil KetuaSaid Budairy SekretarisH. Mahbub Junaidi, Fahmi Saifuddin, Daniel Tanjung, dan Ahmad Bagja AnggotaTim ini merumuskan konsep pembenahan dan pengembangan NU sesuai Khittah 1926 serta menyusun pola kepemimpinan NU. Rumusan yang dihasilkan oleh Tim Tujuh inilah yang kemudian dijadikan pembahasan dalam Munas Alim Ulama 1983 dan Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun kedua forum inilah dihasilkan Perubahan Anggaran Dasar NU, Program Dasar Pengembangan NU, rekomendasi mengenai masalah keagamaan, pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi sesuai acuan Khittah 1926.
bagaimana latar belakang munculnya gagasan kembali ke khittah